Penolakan Klaim atas Polis Hull and Machinery Insurance

//Penolakan Klaim atas Polis Hull and Machinery Insurance

Penolakan Klaim atas Polis Hull and Machinery Insurance

Penolakan Klaim atas Polis Hull and Machinery Insurance Karena Implied Warranty

Kecelakaan kapal menjadi salah satu faktor risiko yang dihadapi ketika berlayar. Definisi dan jenis kecelakaan kapal tersebut di dalam Undang-undang no. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 245, yang berbunyi, “Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa: a. kapal tenggelam; b. kapal terbakar; c. kapal tubrukan; dan d. kapal kandas.”

Yang mana dari keempat jenis kecelakaan di atas dialami oleh pemilik kapal, seluruhnya akan menimbulkan kerugian bagi pemilik kapal dan/atau penyewa kapal. Khususnya, pihak pemilik kapal akan mengalami kerugian baik dari sisi kerusakan pada rangka kapal maupun kerugian atas kehilangan keuntungan karena kapal tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Pihak perusahaan angkutan laut sebagai pemilik kapal/pengangkut dapat meminimalisir kerugian dengan membeli polis Hull and Machinery Insurance.

Jika pada kenyataannya kapal kandas, pemilik kapal tidak serta-merta mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Terjadinya kecelakaan kapal tersebut harus dalam keadaan di luar kekuasaan awak kapal untuk mencegahnya. Dengan kata lain, kecelakaan terjadi bukan karena kesalahannya.

Mengambil contoh kasus PT. Baruna Shipping Line selaku penggugat melawan PT. Asuransi Jasa Indonesia selaku tergugat, Pihak tergugat mengajukan penolakan atas gugatan penggugat dengan mengajukan dalil implied warranty. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh tertanggung meskipun tidak tercantum di dalam polis asuransi. Kelaiklautan yang diikuti dengan dokumen legal yang membuktikannya merupakan ketentuan wajib yang harus dipenuhi oleh pemilik kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kapal harus memenuhi syarat laik laut

Undang-undang no. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 117 ayat (2), menyebutkan bahwa kapal dinyatakan laik laut jika memenuhi aspek-aspek berikut:

  1. keselamatan kapal;
  2. pencegahan pencemaran dari kapal;
  3. pengawakan kapal;
  4. garis muat kapal dan pemuatan;
  5. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
  6. status hukum kapal;
  7. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
  8. manajemen keamanan kapal.

Masing-masing aspek kelaiklautan di atas dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-undang no. 17 tahun 2008 bab IX mengenai kelaiklautan kapal. Dalam contoh kasus di atas, PT. Jasa Asuransi Indonesia tidak dapat menerima klaim PT. Baruna Shipping Line atas kecelakaan kapal karena telah melakukan beberapa pelanggaran, salah satunya adalah ketidakberadaan nakhoda selama pelayaran, yang melanggar 117 ayat (2) poin b Undang-undang Pelayaran yang berkaitan dengan pasal 138 Undang-undang Pelayaran.

Legalitas kelaiklautan kapal dapat dibuktikan dengan keberadaan Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Bab XI; Bagian Keenam; Surat Persetujuan Berlayar, Pasal 219 ayat (1). Ketentuan ini dijelaskan lebih lanjut di di dalam Peraturan Menteri Perhubungan, Nomor: KM. 01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance), BAB I; Ketentuan Umum, Pasal 1; bahwa Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance) adalah Dokumen negara yang dikeluarkan oleh Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah kapal memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya. Peraturan no. KM. 01 tahun 2010 sendiri merupakan peraturan yang sedang berlaku ketika gugatan diajukan ke pengadilan, yang kemudian diubah dengan KM. 23 tahun 2014 lalu dicabut dengan KM 82 tahun 2014.

Dalam kasus PT. Baruna Shipping Line melawan PT. Asuransi Jasa Indonesia, pihak tergugat menyatakan dalam keberatannya, bahwa nakhoda telah turun kapal sebelum sampai pelabuhan tujuan, lalu digantikan oleh Mualim 1. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan KM 01 tahun 2010 pasal 9, Surat Persetujuan Berlayar dinyatakan tidak berlaku lagi dan pihak pemilik/operator/agen kapal harus mengajukan surat permohonan ulang penerbitan dokumen tersebut.

Kasus di atas berakhir dengan pengabulan eksepsi tergugat dan penolakan gugatan penggugat. Aspek kelaiklautan dan legalitas dokumen pelayaran harus benar-benar diperhatikan sekalipun tidak tercantum secara eksplisit di dalam polis asuransi, sebab kedua aspek ini secara otomatis harus dipenuhi oleh pemilik/operator/agen kapal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

By | 2017-10-22T04:24:41+00:00 November 27th, 2016|Articles|Comments Off on Penolakan Klaim atas Polis Hull and Machinery Insurance

About the Author: